Tampilkan postingan dengan label kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Juni 2012

Kisah Domba yang Jadi Kambing Hitam 2

Kisah Domba yang Jadi Kambing Hitam 2
      RSJ Mendingan Waras sedang menggelar general chek up dan pengobatan untuk seluruh pasien. Triple-E tampak sibuk mengatur para pasien untuk mengikuti prosedur pemeriksaan. Soalnya, kadang-kadang ada kasus pasien yang ogah ketemu dokter. Buat menghindari acara pengobatan, mereka ngumpet di tempat yang tersembunyi, sebab kalau tidak tersembunyi mereka tidak bisa ngumpet dan yang jelas bisa ketahuan.
      "Bapak sakit apa?" tanya dokter.
      "Mual-mual dan muntah-muntah, sama gatel-gatel juga."
      "Oh, kalo gatel-gatel obatnya gampang, Pak."
      "Apa, Dok?"
      "Garuk-garuk," jawab sang dokter dengan cueknya. "Buang airnya bagaimana, Pak?"
      "Seperti biasa, Dok," jawab pasien sambil cengar-cengir.
      "Seperti biasa bagaimana?"
      "Masa dokter tidak tahu?"
      "Lho, yang buang air kan Bapak. Makanya saya tanya, buang airnya bagaimana?"
      "Ya seperti biasa, Dok... jongkok."
      Benar saja, ada dua orang pasien yang takut ketemu dokter dan ngumpet entah di mana. Erdin cs dan para petugas RSJ sibuk mencari-cari mereka, seperti nyari anak yang hilang diculik alien.
      "Ke mana si Jonted dan Dulkamdi?" tanya Erdin dengan suara putus asa.
      "Jangan-jangan mereka bunuh diri?" sela Eddy.
      "Aduh, kamu jangan ngayal terlalu jauh dong, Dy." keluh Evita.
      "Bisa aja, mungkin mereka menyangka para dokter yang datang itu malaikat pencabut nyawa, terus daripada mereka mati secara swalayan, self service gitu loh."
      "Udah deh, supaya ente berdua nggak makin ngawur, mending kita cari lagi si Jonted dan Dulkamdi di tempat lain." Erdin ngeloyor diikuti Eddy dan Evita.
      Sementara itu di suatu tempat, yaitu di dalam sebuah bak mandi tidak terpakai yang teronggok di gudang RSJ, Jonted dan Dulkamdi yang lagi dicari-cari berusaha keluar dari bk mandi yang tidak mau melepaskan diri mereka.
      "Aduh, kok badan kita jadi nempel di bak ini sih?" keluh Jonted.
      "Mungkin badan kita mengandung lem aibon kali?" sahut Dulkamdi.
      "Tolong! Tolong!" teriak Jonted.
      "Eh, supaya orang-orang pada denger, gimana kalo kita berteriak serempak?" usul Dulkamdi.
      "Wah, itu ide yang bagus!" sambut Jonted. "Ayo kita lakukan!"
      "Satu..dua..tiga..Serempaaak! Serempaaak!"
      Walhasil tidak ada seorang pun yang mendengar teriakan serempak Jonted dan Dulkamdi. Triple-E malah nyasar ke kandang kambing yang terletak di belakang RSJ.
      "Kita kok malah ke sini?" tanya Evita. "Ini kn kandang kambing?"
      "Siapa yang bilang ini kandang gorila?" sungut Erdin. "Siapa tahu mereka ngumpet di antara para kambing ini."
      "Wah jadi ingat proyek pohon ntal kandang kambingnya si Sarmuk," cetus Eddy.
      "Pohon natal kandang kambing?" tanya Evita.
      "Iya, teman kuliah aku itu pengen bikin kejutan di hari Natal tahun ini. Dia bikin pohon natal dengan dekorasi kandang kambing asli di kamarnya."
      "Nah lo! Kayak apa tuh jadinya?" sela Erdin.
      "Ya kayak kandang kambing," sahut Evita. "yang baunya bikin hidung keriting."
      Benar dugaan Evita. Di rumah Sarimuka Rajagukguk, tulang dan nantulang Sarmuk sedang uring-uringan. Penyebabnya tidak lain adalah pohon natal kandang kambing kreasi keponakan mereka, si Sarmuk.
      "Kau ini macam-macam pula bikin kerjaan?" semprot tulang Sarmuk, Marhothot Rajagukguk. "Ini kambing-kambing bikin kami pening. Setiap hari mengembik dan merengek-rengek macam si ucok minta dibelikan permen."
      "Lagi pula baunya bikin aku rindu pulang ke Pulau Samosir," sahut nantulang Sarmuk, Tiur Melambailambai Rajagukguk. "Usirlah kambing-kambing itu, biar hidungku ini tidak bertambah besar dan copot berantakan."
      "Alamak! Tulang dan nantulang ini tak tahu selera seni tinggi. Kandang kambing ini akan selalu mengingatkan kita pada Yesus Kristus. Biarlah bau sedikit, itu kan sudah resiko. Apa boleh buat, tahi kambing bulat-bulat."
      Sarmuk tidak mau kompromi dengan keberatan om dan tantenya itu. Dia tetap saja membiarkan lima ekor kambingnya mengembik-ngembik, berlari ke sana ke mari, buang hajat di mana suka, dan mengendus-ngendus apa saja yang menimbulkan bau. Puncaknya, pada saat perayaan Natal tiba dan keluarga besar Rajagukguk tumplekblek di rumah Sarmuk, kehebohan pun terjasi. Saat selu8ruh keluarga berkumpul di ruang tengah untuk bertukar hadiah, kambing-kmbing Sarmuk yang lupa dikasih makan, mengembik-ngembik serentak mirip klakson bajaj pawai. Sarmuk yang keasyikan mengumpulkan kado dari teman-temannya tersentak kaget.
      "Alamak! Kambing-kambing siapa pula ini?" teriak Boru Raima yang paling geli dengan anak kambing.
      "Sarimukaaa...!" teriak nantulang Tiur Melambilambai dengan gemasnya. "Enyahkan kambing-kambing kau ini!"
      "Iya, nantulang, iya!" Sarmuk buru-buru mengejar-ngejar anak-anak kambingnya yang gesit bukan main, lari ke sana lari ke sini. Tabrak ini, tabrak itu. Alhasil, suasana Natal pun berubah jadi heboh. Semua orang berusaha menangkap anak-anak kambing itu.

***



      Triple-E berkumpul di rumah Eddy. Mereka sedang membahas persiapan Idul Adha di masjid batuk alias Baitul Ukhuwah di komplek Bumhar.
      "Persentase korban kambing dan sapi tahun lalu berimbang," terang Evita. "Kira-kira tahun depan gimana ya?"
      "Mudah-mudahan sapinya lebih banyak," sahut Erdin.
      "Kalo kambingnya yang justru lebih banyak, gimana?" sela Eddy. "Kan tahun ini kita lagi prihatin sama kenaikan BBM?"
      "Asal kambingnya yang berkualitas terbaik, tidak masalah." timpal Evita.
      Tiba-tiba Triple-E mendengar pintu rumah Eddy diketuk orang. Eddy beranjak membuka pintu, dan langsung kaget melihat siapa yang datang.
      "Sarmuk...?"
      "Dy.."
      Sarmuk berdiri dengan tampang lecek sambil menggendong empat ekor kambingnya yang spontan mengembik serempak. Sementara induk si kambing yang dituntunnya tampak mengendus-ngendus lantai rumah Eddy, kelihatan kurus kerempeng.
      "Elo kenapa, Muk?"
      "Diusir, Dy," jawab Sarmuk lirih.
      "Diusir?"
      "Bukan aku yang diusir, tapi domba-domba ini. Mereka sudah membuat pusing keluarga besar Rajagukguk. Tulang dan nantulangku marah-marah terus.
      "Terus, elo mau apain kambing-kambing ini?"
      "Buat kau sajalah, Dy. Sebentar lagi kan kau menyambut Idul Adha, lumayan buat berkorban."
      "Gue kan udah bilang, Muk. Piara kambing itu tidak gambang. Menurut gue, ngerayain Natal tidak perlu sampe bikin kandang kambing beneran segala. Di kamar tidur lagi."
      "Iya, Dy. Aku nggak pikir panjang lagi. Ternyata aku nggak sanggup kasih makan domba-domba ini. Maaf ya, Dy, sudah bikin kau repot."
      "Ya nggak dong, Muk. Gue malah senang udah bisa bantu elo. Yah, biarpun akhirnya jadi kayak begini."
      Sarmuk pun pamit pulang. Eddy membawa masuk kambing-kambing pemberian Sarmuk.
      "Lha, ente dapat kambing dari mana, Dy?" tanya Erdin.
      "Nah ya, kamu habis ngapain tahu-tahu masuk bawa emak dan anak-anak kambing?" todong Evita.
      "Ya ampun..! Janda dengan empat anak dari mana tuh, Dy?" sambung Erdin.
      Eddy pun cerita tentang domba yang jadi kambing hitam pengacau acara Natal keluarganya Sarmuk itu.
      "Ya Allah, kasihan banget si Sarmuk. Maksud hati pengen bikin simulasi kelahiran Yesus, malah jadi begini akhirnya."
      "Dia cuma tidak mikir kalo kambing itu beda sama kucing yang bisa cari makan sendiri. Ente lihat aja, nih domba kurus-kurus begini."
      Tiba-tiba kambing-kambing di tangan Eddy lepas lalu lari ke mengelilingi ruangan rumah, mencari-cari sesuatu yang bisa dimakan. Triple-E pun jadi panik karena kambing-kambing itu mengembik sambil menabrak apa saja.
Baca Selengkapnya...

Minggu, 03 Juni 2012

Nasihat seekor burung

Nasihat seekor burung
Bismillahhirrohmannirrohim

Pada suatu hari, seseorang menangkap seekor burung. Kemudian burung itu berkata kepadanya, "Aku ini tidak berguna bagi mu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku, nanti aku memberimu tiga nasihat."

Siburung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan diberikannya ketika ia sudah berada di cabang pohon, dan yang ketiga akan diberikannya jika ia sudah mencapai puncak bukit.

Orang itu itu setuju, dan meminta nasihat pertama. Burung itu berkata, "Kalau kamu kehilangan sesuatu, meskipun kamu menghargainya seperti hidupmu sendiri janganlah menyesal."

Orang itupun melepaskan burung, dan burungpun segera melompat ke dahan. Lalu burung menyampaikan nasihat kedua. "Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apalagi tidak ada bukti."

Kemudian burung itu terbang ke puncak bukit dan dari sana ia berkata. "Wahai manusia malang, di dalam tubuhku ini terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kamu membunuhku, maka kamu akan memperolehnya."

Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun ia berkata. "Setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga."

Burung berkata, "Alangkah tololnya kamu, meminta nasihat ketiga, sedangkan yang kedua pun belum kamu renungkan sama sekali. Sudah aku katakan kepadamu, agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan jangan percayai hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kini kamu malah melakukan kedua-duanya. Kamu percaya pada hal yang tidak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Padahal sebenarnya aku tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar. Kamu tolol. Oleh karena itu, kamu harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia." (Dikutip dari Tales of Darswishes oleh Idries Shah)

AKAL. Itulah salah satu pemberian terbesar dari Allah buat manusia. Akal membuat manusia menjadi mulia. Akal membuat manusia berbeda dari hewan dan tumbuhan. Ia bisa membuat manusiamampu memecahkan berbagai permasalahan hidup. Ia membuat manusia mampu mengubh dan memajukan kehidupan. Ia mengantar manusia meraih berbagai penemuan yang menakjubkan. Walaupun demikian, potensi atau kekuatn "akal" yang sedemikian hebat, hanya berguna apabila manusia mau mendayagunakannya secara optimal.

Jangan sampai binatangpun bisa mengelabuhi kita, bisa membodohi dan mengecoh kita, akibat ketidak mampuan kita menggunakan akal untuk berfikir. Karena itu, berulangkali di dalam Al Qur'an, Allah SWT memerintahkan manusia untuk berfikir.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi...." (QS. Ali Imran: 190-191)

"Berfikir" adalah awal keberhasilan. Atau dengan kata lain, berfikir akan mengantar kepada sukses. Jika Kita "Berfikir Besar", berarti kita membuka cakrawala kit, menjangkau kemungkinan-kemungkinan baru di dalam kehidupan, untuk apapun yang Tuhan rencanakan untuk kita di masa yang akan datang. Jika kita berfikir besar, berarti kita bisa melakukan apa saja yang bisa dilakukan orang lain, hanya saja kita harus melakukan lebih baik.

Jika kita "Berfikir Kreatif", berarti kita percaya bahwa sesuatu dapat dilakukan, dan jika kita percaya sesuatu dapat dilakukan, maka pikiran kita akan mencari cara-cara untuk melakukannya. Kita juga tidak akan membiarkan tradisi melumpuhkan pikiran kita. Kita selalu bertanya pada diri sendiri, bagaimana dapat melakukan sesuatu dengan lebih baik. Kita akan selalu membentangkan pikiran kita untuk mendapatkan stimulasi, dan kita senang bergaul dengan orang lain yang dapat membantu kita memikirkan suasana bru, cara baru mengerjakan segala sesuatunya.

Raihlah berbagai keberhasilan, dengan mendayagunakan akal untuk berfikir. Berfikirlah dan teruslah berikir, niscaya kita akan memperoleh pemecahan dari setiap masalah yang kita hadapi. Kita dapat mengubah sakit menjadi sehat. Kita bisa mengubah kekalahan menjadi kemenangan. Kita bisa mengubah kemiskinan menjadi kekayaan dan seterusnya.

wassallam..
Baca Selengkapnya...

Selasa, 08 Mei 2012

KisAh DOmbA yaNg jAdi KaMBing HitAM 1

Kisah Domba yang jadi Kambing Hitam 1
   Pagi-pagi buta pintu kamar Eddy sudah ada yang menggedor-gedor. Eddy yang lagi asyik ngorok setelah begadang semalam suntuk dalam rangka menghadapi UTS, kontan bangun sambil ngurut dada. Astagfirullah... bangun-bangun... makan nasi sama sate kambing..mulut Eddy komat-kamit.
   "Kamu merasa punya teman bernama Sarimuka Ratugonggong nggak? Dia nunggu di depan tuh,"lapor Bibi Maryam.
   "Ratugonggong?" tanya Eddy masih dengan mata stun,"Rajagukguk kali, Bi?"
   "Apa bedanya? Toh kedua-duanya bisa bikin kita lari terbirit-birit."
   "Beda dong, Bi. Kalo Rajagukguk itu orang Batak."
   "Kalo Ratugonggong?"
   "Itu karangan Bibi. Mana ada orang Batak marganya Ratugonggong?"
   "Ya sudah, cepatlah kau temui si Rajagukguk itu, sebelum dia teriak-teriak lagi macam kenek metromini," kata Bibi dengan logat Batak yang maksa banget.
   Di teras rumah Eddy, Sarimuka sudah menunggu Eddy dengan nggak sabar.
   "Ada apan sih, Muk? Tumben pagi-pagi banget lo ke sini?" tanya Eddy.
   "Aku mau minta tolong sama kau, Dy. Kau tahu kan, sebentar lagi hari Natal tiba. Nah, aku ingin bikin pohon terang yang lain dari yang lain."
   "Lain dari yang lain gimana maksud elo?"
   "Selama ini kan orang kalau bikin pohon natal lanskapnya yang itu-itu saja. Nah, tahun ini, aku pengin bikin pohon natal dengan lanskap kandang domba, lengkap dengan domba aslinya. Kau bisa tolong aku nggak di mana beli domba yang baru saja melahirkan?"
   "Kenapa mesti domba yang habis melahirkan?"
   "Iya dong, soalnya itu melambangkan kelahiran Yesus Kristus ke dunia."
   "Hmm...domba yang habis melahirkan sih bisa dicari. Tapi, apa elo udah mikirin akibatnya?"
   "Akibat apa?"
   "Ya elo tahu kan, domba itu beda sama kucing. Domba itu, biar elo kasih parfum dari Paris sekalipun, baunya tetep bikin hidung elo kriting. Emang rencananya pohon natal itu mau dibikin di mana?"
   "Di kamar tidurku."
   "Sempurna!" Eddy menjentikkan jarinya. "Tapi, kalo itu nggak masalah buat elo sih nggak apa-apa juga."
   "Ya buatku sih nggak masalah, soalnya rencanaku domba-domba itu akan aku mandikan setiap pagi dan sore. Bulu-bulunya akan ku keramasi pake shampo anti ketombe, biar wangi terus gitu."
   Jadilah hari itu Eddy ngantar teman kuliahnya itu mencari domba yang baru melahirkan. Dengan menumpang pick up mereka keliling kampung buat berburu juragan kambing yang punya domba jenis itu.
   "Domba yang baru melahirkan? Ada juga domba yang baru keguguran," kata seorang juragan kambing.
   "Wah, kita cari domba yang baru melahirkan lengkap sama anaknya, Bang,"sahut Sarimuka.
   "Harus anak kandungnya ya? Kalo anak pungut gimana?" tanya sang jurkam.
   "Kalo anak pungut nggak punya hak waris, Pak," sela Eddy.
   "Waduh, susah juga ya. Domba yang habis keguguran ini aja udah lama nggak mau diajak berhubungan intim sama jantannya."
   "Emang kenapa, Bang?"
   "Nggak tahu, kayaknya dia ogah melahirkan lagi. Frigid gitu lho. Jangan-jangan dia udah menopause ya?"
Eddy dan Sarimuka pun ngeloyor ke tempat penjualan kambing yang lain.
   "Aduh, susah juga nyari kambing habis melahirkan ya, Dy?" keluh Sarimuk.
   "Ya, soalnya kita kan nggak punya RS bersalin khusus kambing, Muk," sahut Eddy asal."Nah, tuh ada yang jual kambing lagi. Siapa tahu yang ini punya kambing yang kita cari."
   Eddy dan Sarimuka menghampiri sang penjual kambing.
   "Pak, kambing-kambingnya kalem banget? Dikasih makan apa, Pak?" tanya Eddy berbasa-basi.
   "Yang mana? yang hitam atau yang putih?"
   "Yang hitam..."
   "Oh, kalo yang hitam makannya rumput liar"
   "Ohh...kalo yang putih?"
   "Yang putih juga.."
   "Kambing-kambing ini kuat makan berapa banyak, Pak?" tanya Sarimuka.
   "Yang mana nih? Yang hitam apa yang putih?"
   "Yang hitam deh.."
   "Oh, kalo yang hitam 4 karung sehari"
   "Kalo yang putih?" sela Eddy.
   "Yang putih juga.."
   Eddy dan Sarimuka mulai saling pandang sambil manyun.
   "Kambing ini menghasilkan berapa anak pertahunnya, Pak"
   "Yang mana? Yang hitam atau yang putih?"
   "Yang hitam dulu deh," sahut Eddy dengan sebal.
   "Oh, yang hitam, banyak...30 ekorlah pertahunnya."
   "Kalo yang putih...?" sela Sarimuka.
   "Yang putih juga," sahut tukang kambing dengan entengnya.
   "Kenapa sih Bapak selalu ngebedain kedua kambing ini kalo emang jawabannya sama?" tanya Eddy, nggak tahan lagi dengan rasa kesalnya.
   "Oh, gini, dik, soalnya yang hitam itu punya saya... "
   "Oh, gitu...maaf deh saya nggak tahu, Pak. Ngg...kalo yang putih?"
   "Yang putih juga."
   "Alamak! Repot kali ngomong dengan abang satu ini," celetuk Sarimuka dengan marahnya.
   Eddy pun mengutarakan maksudnya mencari kambing habis melahirkan.
   "Wah, kalian berdua memang beruntung. Baru saja kambing saya ada yang melahirkan, empat ekor sekaligus anaknya."
   "Sarimuka girang betul, kesampaian juga maksud hatinya bikin pohon natal dengan dekor kandang kambing di kamarnya."
   "Tapi, anak-anak kambing ini nggak punya bapak, Mas. Soalnya nggak ada kambing jantan yang mau bertanggung jawab."
   "Biarin deh, Bang. Teman saya ini yang bakal tanggung jawab," sahut Eddy.
   "Iya, Bang. Saya ini laki-laki yang bertanggung jawab lho," timpal Sarimuka sambil memeriksa keadaan kambing yang dicarinya... bersambung...
Sumber kisah: Majalah ANNIDA
Baca Selengkapnya...

Minggu, 06 Mei 2012

MimPi yAng JadI kENyatAan

mimpi yang menjadi kenyataan
Bismillahirohmanirohihm

Maha Suci Allah yang telah menjadikan malam untuk beristirahat. Maha Besar Engkau Ya Allah, kebesaran-Mu yang tidak akan bisa di cerna oleh makhluk ciptaanmu. Puji syukur hanya kepada Allah yang telah menghiasi tidur dengan mimpi sehingga akan terasa nyaman dalam menikmati malam dalam penjagaanMU.

Tidak selamanya mimpi adalah kembang tidur, ataupun hanya berupa bunga-bunga penghias ketika lupa dan terlelap. Mimpi adalah misteri yang kiranya perlu untuk di cerna, ditafsirkan, bahkan kalau memungkinkan ditulis kedalam buku catatan harian. Karena bisa jadi mimpi tersebut adalah pertanda atau suatu kejadian yang akan terjadi di masa depan.

Hadis riwayat Abu Hurairah, Rosulullah saw berkata:

Ketika kiamat telah mendekat, mimpi seorang muslim hampir tidak ada dustanya. Mimpi salah seorang di antara kalian yang paling mendekati kebenaran adalah mimpi orang yang paling jujur dalam berbicara. Mimpi orang muslim adalah termasuk satu dari empat puluh lima bagian kenabian. Mimpi itu dibagi menjadi tiga kelompok: Mimpi yang baik, yaitu kabar gembira yang datang dari Allah. Mimpi yang menyedihkan, yaitu mimpi yang datang dari setan. Dan mimpi yang datang dari bisikan diri sendiri. Jika salah seorang di antara kalian bermimpi yang tidak menyenangkan, maka hendaknya dia bangun dari tidur lalu mengerjakan salat dan hendaknya jangan dia ceritakan mimpi tersebut kepada orang lain. Beliau berkata: Aku gembira bila mimpi terikat dengan tali dan tidak suka bila mimpi dengan leher terbelenggu. Tali adalah lambang keteguhan dalam beragama. Kata Abu Hurairah: Aku tidak tahu apakah ia termasuk hadis atau ucapan Ibnu Sirin. (Shahih Muslim No.4200)

Abdullah Ibnu Zaid Ibnu Abdi Rabbih berkata: Waktu saya tidur (saya bermimpi) ada seseorang mengelilingi saya seraya berkata: Ucapkanlah "Allahu Akbar Allahu Akbar, lalu ia mengucapkan adzan empat kali tanpa pengulangan dan mengucapkan qomat sekali kecuali "qod Qoomatish sholaat". Ia berkata: Ketika telah shubuh aku menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya ia adalah mimpi yang benar." Hadits dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.

Antara percaya atau tidak, ragu, aneh, geleng kepala tertumpuk di kepala yang mulai tumbuh uban helai demi helai. Setiap aku buka catatan mimpi, seolah berfikir apakah mimpi ini betul-betul satu tanda yang menjadi kenyataan. Hanya saja dalam menafsirkan mimpi ini yang buta. Jauh sebelum Tsunami menghantam Aceh dan kawasan pesisir pantai Indonesia atau jarak waktu 4 bulan.

Dalam catatan mimpi yang kutulis bertuliskan.

Di atap bangunan plaza pertokoan gerombolan manusia berdiri seperti semut mengumpulkan gula.Bukan satu bangunan saja. Yang kurasa aku mengayuh sampan tapi tiba-tiba berenang di dalam kubangan air kota. Heran..! kota ini penuh air. dari mana air ini..? Aneh.. Padahal cuaca cerah penuh bintang. Malam hari yang tidak biasanya..

tiga hari berikutnya..

Suara tawa seperti Mak Lampir terdengar menakutkan. Dari dalam rumah yang ditutup rapat... Kekhawatiran dan ketakutan orang-orang dengan suara itu yang setiap satu jam, dua jam, dan tidak tentu waktu.. lewat dan terdengar.. Setiap kali lewat suara itu selalu saja menaburi pasir, karang laut, dan... suara yang menakutkan...

lima hari berikutnya...

Banyak berlarian di jalan setapak temurun terjal berebut saling mendahului.. saat menengok ke belakang.. gumpalan asap dari arah gunung membumbung mendekat cepat..

tanpa tanggal.. dan main tulis..

Di Masjid dengan jemaah yang sudah berjubel menunggu Adzan dikumandang.. Saat aku akan adzan mik yang sudah aku pegang.. tiba-tiba direbut dan akan mengambil alih menjadi bilal.. aku pun tidak mau kalah.. berebut adzan pun tidak dihindari.. Qomat uh.. kurang lebih 5 atau 7 atau.. ah.. yang imam kok rebutan.. posisi imam kok di belakang.. aneh.. mimpi ini...

Dan banyak sekali catatan mimpi yang ingin aku postingkan, tapi aku rasa tidak usah banyak-banyak yah..

Catatan yang aku tulis tadi adalah pertanda tsunami, gempa bumi, gunung meletus, fitnah terorisme, korupsi, atau rebutan jadi presiden, atau apalah... terserah anda menafsirkan mimpi ini..

Anda yang mampu menafirkan mimpi ini, tafsirkanlah! Yang aku tulis sengaja aku tulis.. dan tidak ada tersirat menjadikan mimpi sebagai cara mencocok-cocokan kejadian setelah mimpi. Yang aku tulis sekedar coretan kertas yang akan aku buang. Sayang kalau tidak aku postingkan.. Wassallam..
Baca Selengkapnya...

Minggu, 15 April 2012

Risalah Lidah

Risalah Lidah

oleh: Clara Ng

Tidak ada salahnya mempublikasikan cerpen karya orang lain sebagai referensi,sarana mendidik, bahan bacaan, ataupun belajar menulis cerpen. Padahal semula aku malas menampilkannya. Tapi cerpen yang ini cukup unik dan terkesan membingungkan bagi pembaca dan terserah pembaca sendiri yang menterjemahkan maksud dari cerpen ini.

Menurut aku cerpen ini menceritakan tentang simbol ucapan seseorang (lidah) adalah cermin dari pribdi atau hatinya (kota di atas lidah) seseorang kurang lebih seperti itu. Bagaimana menurut anda?

IA menemukan kota kecil di dalam mulutnya. Sebulan lalu, waktu Ibu selesai mengepang rambutnya panjang di kiri dan kanan, Asna mendengar suara tangisan bayi. Suara itu berasal dari dalam tubuhnya—betapa anehnya ungkapan itu, tapi rasanya benar. Setelah kebingungan beberapa saat, akhirnya Asna membuka mulut di depan cermin, memandang kegelapan di tenggorokannya sambil menunggu kesunyian lewat. Telah hilang semenit, suara tangis itu terdengar lagi.

Cepat-cepat Asna menjulurkan lidah. Pancaran matanya berkilat tak percaya ketika memandangi lidahnya. Ada sesuatu di sana. Air mukanya yang tadi merona merah jambu langsung luntur menjadi pias. Apa yang terjadi? Ia sedang berdiri di depan cermin sambil memandangi lidahnya yang padat dengan jalan raya, rumah, gedung, dan pagar. Ada kota mungil tumbuh di atas lidahnya.

Asna terguncang hebat, mundur selangkah. Lidahnya masuk kembali ke dalam mulut dengan kilat seakan tertelan. Seluruh pori-pori kulitnya gemetar. Apa itu tadi? Sebuah kota? Atau apa? Gadis delapan tahun itu tak bisa memikirkan apa yang barusan melintas di depan matanya. Otaknya membeku. Dengan gamang, ia mengalihkan pandangannya kembali ke arah cermin. Jam berdetik, tak bisa mengukur ketegangan yang ia rasakan.

Sekarang Asna baru tahu, ternyata lidah punya kejutan berbuncah. Pelan-pelan ia membuka mulut lagi, menjulurkan lidah sejauh-jauhnya. Sungguh, ia tidak salah lihat. Menakjubkan. Terpukaulah ia. Lihat, ada peradaban di lidahnya! Ada anak-anak kecil bersepeda di taman ditemani ibu-ibu muda mendorong kereta bayi. Pohon-pohon hijau melambai indah, berderet-deret di sepanjang jalan. Mobil-mobil berlalu lalang dengan santai, tidak ada kesibukan yang dikejar-kejar. Ada gedung-gedung jangkung seperti gedung-gedung di New York. Ada hotel-hotel mungil dengan jendela berbingkai seperti di Paris. Air mancur di kolam-kolam bening seperti di Madinah. Asna takjub tak alang kepalang. Ia seperti menemukan pintu ajaib menuju negeri dongeng.

Ini hal baru. Tentu saja Asna akrab dengan lidahnya, sama seperti manusia-manusia normal yang akrab dengan anggota tubuhnya yang lain. Ia tidak terlalu sering memperhatikan apa yang terjadi dengan lidahnya, tapi ia tahu lidahnya selalu ada di sana untuknya. Lidah selalu melakukan tugas dan pekerjaannya dengan baik, Asna tidak perlu protes dengan lidah. Hanya sekali-kali ketika sariawan menyerang, Asna membenci masa-masa itu, tapi tidak pernah membenci lidah.

Penemuan kota lidah berusaha Asna ceritakan pada ibu, tapi ibu tidak mau mendengar. Katanya Asna mengada-ada. Ia ceritakan pada ayah, tapi ayah hanya tertawa lalu sibuk menekuni ponselnya. Ia mau ceritakan pada guru mengaji, tapi kayaknya percuma karena bisa-bisa ia dipukul pakai penggaris. Akhirnya Asna tidak mau bercerita pada siapa-siapa.

KOTA itu terus tumbuh dan Asna menjadi saksi pertumbuhan kota itu. Bayi yang dilihatnya kemarin merangkak, esoknya sudah belajar jalan. Anak yang bermain bola ternyata minggu depannya sudah merokok. Lelaki berkumis yang rajin mengajar di sekolah ternyata dua minggu kemudian meninggal dunia. Waktu berdetik lebih cepat di sana.

Asna betah kembali ke lidahnya. Bagai magnet, ia tak bisa mengelak dari rasa ketertarikan pada kota damai yang pelan-pelan berubah menjadi bising. Hiruk-pikuknya menjadi tanda-tanda tragedi yang mengerikan. Mobil-mobil di jalan raya sering mengeluh dan melenguh keras. Anjing menggonggong mengancam, bercampur baur dengan bunyi-bunyi ganjil lainnya. Para penghuni kota berusaha menjinakkan teror yang tumbuh semakin besar.

Suatu hari, di tengah malam Asna terbangun oleh pekik kemarahan yang menggema di kepalanya. Ia turun dari ranjang dan berjinjit di depan cermin. Di sana tampak lampu-lampu jalan yang meredup, menjadi saksi keributan manusia yang terusir dari pinggir jalanan dan kolong jembatan. Wajah-wajah bengis dan paras-paras putus asa saling memandang satu sama. Mereka dorong-mendorong dan caci-mencaci. Tangisan anak-anak dan jeritan kutukan sahut menyahut. Adegan demi adegan terus beralih, tiba-tiba terdengar suara tembakan. DOR!

Asna terpaku kaget, lidahnya nyaris tertelan. Cepat ia berbalik, terbirit-birit menuju kamar ibu. Ia menyusup di tengah-tengah orangtuanya, tak bisa lelap tidur sepanjang malam. Matanya berkaca-kaca. Ia mengompol pada dini hari.

Esoknya ibu marah sekali pada Asna. “Bagaimana mungkin anak kelas tiga SD masih kencing di kasur?” bentak ibu murka. Asna membela diri, ia tidak sadar kemarin malam. Ibu tidak menyimak perkataannya. Ibu terus membentak-bentak Asna, merepet-repet sambil mengganti seprai. Mbak Iyo sudah seminggu pulang kampung dan belum balik. Sepertinya Mbak Iyo mencuri kesabaran Ibu dan membawanya ke kampung untuk dibagi-bagikan kepada ibu muda di sana. Sungguh beruntung ibu-ibu muda di kampung Mbak Iyo.

Asna kagum dengan tsunami kata-kata ibu. Ia ingin tahu bagaimana seorang perempuan bisa berbicara secepat itu? Asna mendelik memperhatikan lidah ibu, seperti apa lidahnya. Lidahnya datar. Ya, ya, seperti apa kota yang tumbuh di lidah datar itu? Asna meminta ibu menjulurkan lidah. Oh, mengamuklah ibu! Ia tambah marah, mengira anak perempuannya menyepelekannya habis-habisan. Marahnya sambung menyambung, bergantian; seperti naga ia menyembur-nyemburkan api. Namun bukan ibu namanya kalau ia tidak maha pengampun. Setelah marah-marah tak berkesudahan, marah ibu disudahi juga. Ia menjulurkan lidah buat Asna.

Ada yang salah. Ternyata tidak ada kota apa-apa di lidah ibu. Asna malah terpaku memandang gurun pasir. Gurun pasir berwarna kuning keemasan tercadar oleh debu. Kaktus-kaktus berdiri kaku dalam keheningan, masing-masing sendirian dalam hamburan angin yang mengaum keras. Cahaya hanya redup di sana, kalah oleh kematiannya. Tidak ada keriangan, semuanya beku dan panas seperti api kebencian. Ibu bertanya apa Asna puas? Asna terlalu kaget untuk menjawab apa-apa. Ibu menarik lidahnya lagi, menelan gurun pasir ke dalam mulutnya.

Sejak hari itu, Asna mulai senang membujuk orang-orang untuk menunjukkan lidahnya. Asna menemukan permainan baru, menyadari bahwa lidah-lidah yang dimiliki manusia tidak ada yang sama. Ayahnya memiliki pasar yang teramat besar tumbuh di atas lidahnya. Di sana ada pedagang-pedagang yang suka saling tipu-menipu satu sama lain. Jalan-jalan besar lebar yang penuh dengan teriakan penjual merayu kebohongan. Keramaian tak tertanggungkan di bawah terpal-terpal yang gagah melindungi meja kayu dan daging ayam, kambing dari sengatan panas. Kekotoran dan kesemrawutan yang membusuk.

Lidah pamannya lebih lucu lagi. Tidak ada kota atau pasar atau gurun pasir di sana. Yang ada hanya lapangan luas dengan satu monumen agung di tengahnya. Setiap hari lapangan itu penuh sesak dengan orang-orang yang berlomba-lomba mengangkat spanduk dan kepalan tangan. Mereka berprotes dan berdemonstrasi, berpekik tentang demokrasi, revolusi, kekuasaan, kemerdekaan, kejayaan, kemenangan. Berulang-ulang kata yang sama dipanggil, pagi siang sore malam; tidak ada hal yang baru lagi. Manusia-manusia adalah poros alam semesta di dalam lidah paman, bukan yang lain.

Siapa yang percaya pada apa yang dilihat Asna? Mereka ikut-ikutan melihat di cermin, tapi yang ada di mata mereka hanya lidah biasa berwarna merah dengan bintil-bintil kecil seperti jerawat. Tidak kelihatan apa-apa. Lagian siapa yang mau memercayai anak kecil? Yang tidak tampak tapi dikatakan tampak, bukan cerita istimewa yang layak didengarkan. Asna dituduh memiliki daya khayal dan tingkat lelucon yang terlalu kekanak-kanakan.

Tidak ada lagi yang mau percaya pada perkataan Asna, sebab itu Asna bosan memberitahu. Ia memutuskan hanya mengamati lidahnya saja, menonton dalam kegairahan yang tak berjumlah ketika kota di lidahnya tumbuh semakin serampangan.

ASNA tumbuh semakin besar, demikian juga dengan kota di lidahnya. Waktu ia berumur sepuluh tahun, kota itu semakin sesak. Jalan layang bertumpuk-tumpuk, sampah berkembang biak, mal-mal dengan etalase yang genit membakar setiap inci kota. Deru angin menggulung-gulung, menebarkan kengerian dan kebekuan di sepanjang trotoar. Waktu ia berumur lima belas, pohon-pohon gundul di sepanjang taman-taman. Penjara penuh dengan orang yang saling membunuh, tapi lama-lama satu per satu orang mati karena terbunuh. Gedung bioskop kosong melompong.

Sepanjang gang, kekejaman meluap dari gorong-gorong tempat tikus-tikus raksasa hidup. Sejak remaja, Asna tidak lagi meminta orang menunjukkan lidahnya pada Asna. Ia mual melihat lidah-lidah di dunia. Bertahun-tahun Asna mencari lidah yang menumbuhkan taman Firdaus di atasnya, tapi ia tidak pernah menemukan. Ia melihat ratusan kota pengap, gurun pasir mengerikan, ladang ilalang yang kesepian, berhektar-hektar payau, kebun yang hangus, sampai kubangan tinja. Ia tidak sanggup melihat lagi.

Dalam kesendiriannya, Asna menonton kehancuran kota lidahnya yang merayap dengan cepat pada usia tujuh belas tahun. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menolongnya, seakan-akan kotanya memiliki takdirnya sendiri. Mustahil menyelamatkan, bahkan ia sendiri tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Kotanya mati setahun setelahnya. Tembok cat mengelupas, menelanjangi dinding-dinding yang runtuh perlahan-lahan. Jendela kosong memandangi gema. Pintu retak-retak, membisu sepanjang malam. Pabrik berhenti menggerutu dengan asapnya. Tidak ada manusia yang hidup di kota itu lagi.

Hati Asna hampa melihat kota lidahnya lenyap. Ia ingat bayi-bayi lucu yang tumbuh besar, bekerja, lalu mati. Ia juga ingat rumah-rumah kecil yang berkembang menjadi semakin tinggi dan luas, dengan keluarga-keluarga yang membengkak. Ia ingat bunga-bunga yang mengembang bersama embun. Tapi kenangan adalah seperti kertas yang tersiram air, melumatkan kata-kata yang tertera di atasnya, dan lama-lama menghancurkan kertas itu sendiri. Di usia dua puluh tahun, Asna lupa akan lidahnya. Boro-boro ingat kota, ia bahkan tidak ingat memiliki lidah. Berbaring dengan ringan setiap malam tanpa terganggu suara-suara berisik yang dulu berasal dari lidahnya.

Suatu hari keponakannya yang mungil memasuki kamar Asna, menatap tantenya dengan pancaran mata misterius, pekat oleh kabut rahasia. Asna bangun dari ranjang, menyambut Ratri. Biasanya keponakannya pasti hendak mengajaknya bermain atau mengobrol tentang pelajaran menggambar. Tapi kali ini Ratri tidak mengajaknya bermain, ia malah meminta Asna membuka mulut dan menjulurkan lidah. Masih tersenyum Asna mengangguk, mengabulkan permintaan Ratri. Ia menjulurkan lidahnya.

Ratri bilang lidah Asna menakjubkan. Ada kuburan besar di dalamnya. Ada deretan nisan putih pualam yang seakan-akan mengeja sendiri kata-kata yang tertulis di sana. Daun-daun merontokkan dirinya di atas pekuburan, meliuk-liuk dan berbisik-bisik menjadi gerimis. Semuanya mendesing seperti peluru dalam kesunyian.

Asna memandang Ratri dengan tatapan heran. “Kuburan di lidah?” tanyanya.

Ratri bilang, “Coba lihat di cermin, Tante.”

Asna pergi ke cermin dan menjulurkan lidahnya sekali lagi.

“Sayang, tidak ada kuburan di sini.”

Keponakannya tetap ngotot.

“Tapi Tante tidak melihat apa-apa.”

Ratri memberikan tatap kecewa kepada Asna. Asna balas memandang Ratri dengan senyum lebar. Ratri melengos. Gadis kecil itu tidak mengatakan apa-apa lagi, mungkin menyerah meyakinkan Asna atau tidak punya ketekunan memberitahu. Ia melompat-lompat keluar seperti kelinci, terus berjalan menuju ke kebun belakang.

Sekeluarnya Ratri dari kamar, Asna berbaring di ranjang dengan senyum yang masih dikulum. Anak-anak, pikirnya sambil mendengus, tidak pernah berbicara benar. Mereka selalu berkhayal yang aneh-aneh. Mereka… ah. Mendadak sesuatu menyisiri pikirannya, ada yang berdenting di sana. Asna mengingat kupu-kupu, mengingat rumah, mengingat kota, mengingat lidah, sepertinya terjadi beberapa dekade lalu. Terasa samar-samar, tapi ada. Seberapa kuatnya ia berusaha mengingat, Asna tidak pernah bisa kembali ke jejak masa lalu.

Asna segera melupakan perkataan Ratri tentang kuburan, dan juga tentang imaji hujan daun di musim gugur. Sudah terlalu siang, ia tidak mau berpikir terlalu berat. Ia hanya ingin menikmati tidur yang tak terganggu sampai matahari turun. Hari ini adalah hari cutinya, enaknya dinikmati di rumah seharian. Biarkan saja atasan dan rekan kerjanya menjadi besi karatan, tenggelam di lautan hiruk pikuk kesibukan kantor. Asna mematikan Blackberry-nya. Matanya terpejam pelan-pelan, kegelapan menghunuskan pedangnya. Sayup-sayup terdengar gelak tawa Ratri dari arah kebun dan teriakan pembantu bersahutan di antaranya. Asna tertidur, lidahnya berdecak-decak dalam mimpi. (*)

(Koran Tempo, 20 Juni 2010)
Clara Ng tinggal di Jakarta. Telah menerbitkan 11 novel, antara lain Jampi-jampi Varaiya (Gramedia Pustaka Utama, 2009); dan sebuah kumpulan cerita pendek, Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2008).

Baca Selengkapnya...

Coretan Tamu

CORETAN TAMU